About

Belajar Dari Kasus Keji Menimpa Ahok : Jangan Diam!

Awalnya saya pun malas. Politik hanya sekedar berita. Cukup tau saja, setidaknya kalau ada yang ngobrol nanti bisa ngerti lah. Cukuplah berita-berita yang baik, analisis yang keren dari para ahli, opini pribadi yang bisa jadi perlu diapresiasi atau dikoreksi, disimpan sendiri saja. Lagian.. malu rasaya kalau kelihatan ikut berpolitis di media sosial. Takutnya teman-teman malah jadi risih dengan apa yang saya share, apa yang saya bagikan.


Intinya.. saya pengecut. Saya takut ditantang berargumen. Saya takut dicap pendukung ini-itu. Saya takut dianggap lebay karena ikut-ikutan berkomentar di bidang yang jauh dari keahlian. Boro-boro, keahlian saja pas-pasan, nggak pantas disebut ‘keahlian’ malah.





Namun, belum pernah saya mencintai negara saya hingga sebegininya. Belum pernah saya jatuh hati pada pelayan-pelayan negara sampai sebegininya. Tidak sampai hari ini. Dan kecintaan saya terhadap negara makin bertambah sampai ketika seorang Ahok bahkan masih menahan diri untuk tidak tersedu-sedu di pengadilan, ketika membacakan Nota Keberatan.




Padahal.. Ahok, sangat pantas untuk menangis. Kecintaannya terhadap negara ini dibalas dengan pukulan bertubi, tanpa ampun, tanpa henti, oleh mereka yang lapar materi dan haus kekuasaan. Keinginannya untuk mencerdaskan warganya dibalas telak dengan masa yang dengan mudah digiring opininya. Seakan mereka mau mengejek Ahok, bahwa keinginannya yang sederhana tersebut adalah lawakan. Tapi Ahok tetap gagah dan tidak sedikitpun kecintaannya terhadap negara menyurut.


Jika belum bisa menonton sidang perdana Ahok, bisa dibaca kilasannya disini : Air Mata Ahok


Belum pernah menonton berita persidangan membuat hati saya sedemikian sakit seperti ini. Belum pernah segemas ini terhadap mereka yang bisanya hanya berteriak. Yang bisanya hanya mengkritik tanpa sumbang solusi. Lagi saya ulangi, belum pernah saya mencintai negara saya hingga sebegininya.


Layaknya jatuh cinta. Rasanya ngeri-ngeri sedap. Selalu rindu akan kabarnya. Selalu ingin mengekspresikan kecintaan. Tapi juga takut. Takut yang dicintai nanti kenapa-kenapa. Makanya saya mau ikut menjaga negara ini. Walau minder, apa sih bisanya saya?


Saya suka menulis. Saya suka kepo. Saya tidak suka terlihat gagap ketinggalan berita. Maka saya membaca, menganalisa, menulis. Semampu saya, setinggi mana saya bisa mendorong penalaran saya menapaki materi-materi dan berita yang selalu bertambah tak henti.


Ini saya tumbuh. Dari mulai nyeker-nyeker depan rumah nginjek tai ayam, hingga bisa menyusuri pasir pantai Jikomalamo. Dari mulai harga bubur ayam 500 per mangkok, hingga 12 ribu, kalau mau pakai telur puyuh. Dari jamannya joget Aserehe, hingga tren Manekin Celens. Dari gerobak gorengan hingga rooftop cafe. Dari jamannya jepit rambut kupu-kupu hingga Ombre warna-warni. Dan sampai beberapa waktu lalu, saya masih nyaman dalam diam.


Hingga berbagai kejadian yang disturadarai dengan cerdik melahirkan suatu tekanan yang diharapkan bisa menyetir masa depan negara. Mengerikan buat saya jika harus mewariskan negara yang bisa disetir ugal-ugalan, kepada adik-adik saya, sepupu yang masih kecil-kecil, dan anak saya, nantinya. Walau saya yakin, negara ini kuat. Orang-orang yang mencintai negara, mampu bernalar, dan ingin damai pun banyak. Hanya saja, tidak sedikit yang masih memilih diam.


Mungkin begini pikirmu:


Toh, negara sudah punya aparat keamanan. Toh negara sudah punya sistem hukum. Toh di negara ini sudah banyak aktivis, jurnalis, para ahli di bidangnya, dan macam-macam perkumpulan, yang siap membela mati-matian ke-Bhineka Tunggal Ika-an dan mati-matian bergandeng agar NKRI tak goyah. Saya? Siapa? Bisa apa? Diam saja lah, setidaknya saya nggak ikut rusuh.


Karena itu pikirku, dulu.


Tapi, di negara ini saya membentuk diri, pribadi, dan kemampuan. Setidaknya, walau secuil, walau hanya dengan tulisan dan analisis yang masih perlu diasah, saya mau belajar. Saya mau mengambil posisi, dimana saya berdiri dan siapa yang saya dukung.


Untuk kawan-kawan yang saya tahu juga mencintai negara ini. Yang geram terhadap aksi-aksi yang semaunya sendiri. Cukup sudah masa dormansi. Cukup sudah menjadi kacang hijau yang tidak akan tumbuh kalau tidak ketemu air. Ayo, jangan diam!


Ambil posisi. Mulai dari apa yang kamu bisa. Dari mana kamu berani. Dengan apa yang kamu punya. Sesederhana dangen share berita yang mencerdaskan, misalnya. Atau report akun nggak waras yang sukanya menyebar kabar rekayasa, misalnya. Sesederhana itu. Tapi jangan diam.. Karena Pakde pun tidak hentinya kerja kerja kerja. Karena Ahok pun dengan segala apa yang sudah ditimpakan kepadanya masih sangat bersemangat menawarkan diri menjadi ‘kacung’ rakyat.


sumber: lensaberita.net
Selengkapnya :
https://seword.com/motivasi/jangan-diam/

0 Response to "Belajar Dari Kasus Keji Menimpa Ahok : Jangan Diam!"

Posting Komentar