About

Rizal Ramli: Setop 'Sedot-Ekspor' Kekayaan Alam, Bangun Industri Pengolahan

Foto: Istimewa (detik)



Jakarta -Di era 1960-an, pendapatan per kapita negara-negara Asia sangat rendah, rata-rata hanya sekitar US$ 100/kapita/tahun. Negara-negara seperti China dan Korea Selatan waktu itu masih setara dengan Indonesia, bahkan lebih miskin. 

Tapi dalam 50 tahun situasinya berubah, Korea Selatan melesat menjadi negara maju, pendapatan per kapitanya sekarang sudah US$ 35.000/tahun. China juga sudah meningkat jauh kesejahteraan penduduknya. 

Indonesia juga mengalami kemajuan, tapi tak sepesat Korea Selatan dan China, pendapatan per kapita penduduk Indonesia masih US$ 3.500/tahun. 

Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli, berpendapat harusnya Indonesia bisa lebih maju dibanding China dan Korsel, tapi itu tidak terjadi akibat salah kelola sumber daya alam. 

Dia mengungkapkan, selama ini sumber daya alam Indonesia digali dari tanah lalu hanya diekspor mentah-mentah tanpa ada nilai tambah. Pola pengelolaan kekayaan alam yang hanya 'sedot-ekspor' ini harus diubah.

"Kita yang kaya sumber daya alam harusnya jadi negara yang lebih hebat. Sayangnya paradigmanya selama ini adalah sedot-ekspor. Sedot tanah di Papua, ekspor. Tidak dibangun industri downstream, seperti smelterdan sebagainya sehingga nilai tambahnya nggak ada," ujar Rizal, usai rapat koordinasi di kantornya, Jakarta, Rabu (11/5/2016).

Cara pengelolaan sumber daya alam di Indonesia harus diubah. Indonesia tak boleh lagi hanya menggali dari tanah lalu mengekspor kekayaan alam mentah-mentah, tapi harus mengolahnya menjadi barang jadi yang bernilai tinggi.

"Harus ada perubahan paradigma pengelolaan sumber daya alam. Dari sekadar sedot-ekspor, menjadi kita kembangkan integrated industry yang punya nilai tambah," Rizal menegaskan.

Rizal menyontohkan, dalam kasus Blok Masela yang menjadi polemik beberapa waktu lalu, dirinya ngotot kilang LNG Masela harus dibangun di darat, karena tak mau gas dari Masela hanya disedot saja lalu diekspor mentah-mentah. Jika dibangun di darat, gas bisa dipakai untuk industri petrokimia, pupuk, dan sebagainya, multiplier effect yang diperoleh jauh lebih besar. 

Menurut hitungannya, ekspor gas mentah dari Masela hanya menghasilkan US$ 2,5 miliar per tahun untuk negara. Tapi kalau gas Masela diolah menjadi produk petrokimia, pupuk, dan sebagainya, negara bisa mendapat US$ 6,5 miliar per tahun. Belum lagi lapangan pekerjaan yang tercipta untuk rakyat Maluku.

"Kalau pakai paradigma lama sedot-ekspor, dapatnya hanya US$ 2,5 miliar setiap tahun. Tapi kalau kita bangun industri pupuk, industri petrokimia maka dapat US$ 6,5 miliar (per tahun) yang langsung. Ditambah lagi rakyat buka hotel, jadi sopir taksi, itu bisa dapat US$ 8 miliar (per tahun)," paparnya

Itulah alasan dirinya ngotot kilang LNG Masela harus dibangun di darat, bukan sekedar berdebat lebih baik kilang dibangun di darat atau di laut. Tujuannya adalah memaksimalkan kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

"Inilah arah ke mana kita ingin pergi. Kalau jalan cepat, sedot-ekspor. Jalan agak ribet sedikit, kita bangunintegrated industry," tutup Rizal.
(wdl/wdl) sumber: detik.com

0 Response to "Rizal Ramli: Setop 'Sedot-Ekspor' Kekayaan Alam, Bangun Industri Pengolahan"

Posting Komentar