(Foto : netralitas.com/ist)
EMPAT partai koalisi Cikeas, Demokrat, PPP, PKB, dan PAN, akhirnya mengusung Agus Harimurti Yudhoyono dan Sulviana Murni sebagai pasangan Cagub-Cawagub DKI.
Keputusan keempat partai ini berbeda dengan Gerindra dan PKS, hingga akhirnya keenam partai yang sebelumnya tergabung dalam koalisi kekeluargaan pun terbelah.
Apakah pilihan keempat partai itu sudah tepat? Sehingga mampu melawan pasangan Ahok-Djarot yang sudah lebih dulu diusung PDIP plus Nasdem, Hanura, dan Golkar?
Jika yang menjadi tolok ukurnya adalah tingkat elektabilitas, maka sangatlah berani kita menyampaikan ucapan "Selamat kepada Ahok-Djarot" atas keputusan gegabah keempat partai itu. Walaupun masih terlalu dini, kita bisa menjamin Ahok-Djarot akan meraih suara signifikans.
Keputusan koalisi Cikeas ini sangatlah subyektif dan jauh di luar nalar sehat. Terlihat jelas bahwa keputusan itu beraroma 'birahi kekuasaan' dari keluarga Cikeas. Kenapa demikian? Mungkin, di memori otak kita masih térsimpan, bagaimana rencana keluarga Cikeas memajukan Ani Yudhoyono yang notabene istri SBY untuk maju di Pilpres, pasca selesainya jabatan SBY di RI1.
Namun apa yang terjadi? Publik pun menanggapinya dengan dingin, tak acuh. Padahal berbagai lembaga survey didorong untuk mengangkat citra Ani. Tapi, hasilnya 'nehi...nehi...'
Tidak hanya itu saja upaya yang dilakukan Cikeas. Nama Ibas Yudhoyono, juga terus dielu-elukan agar bisa diterima publik. Tapi, tetap saja 'dongkrak' tak kuat mengangkatnya.
Kali ini, di ajang Pilgub, lagi-lagi keluarga Cikeas 'menjual diri' dengan mendorong Agus Yudhoyono untuk maju di Pilgub. Mungkin, ini dianggap sebagai momentum 'kali-kali ajah'. Ya, kali-kali ajah publik Jakarta mau menerima Agus. Sebab, jika Agus benar-benar diterima, maka ini adalah pintu gerbang untuk masuk ke ajang Pilpres nanti.
Memang, di negeri yang katanya demokratis ini, tindakan keluarga Cikeas tidaklah salah. Tidak juga ada pasal-pasal dari konstitusi yang dilanggar. Apalagi partai yang mengusungnya pun bernama Partai Demokrat, milik keluarga Cikeas.
Keempat partai koalisi Cikeas pun memiliki segudang argumentasi untuk mengusung Agus. Misalnya argumentasi yang diampaikann Ketua Umum DPP PPP Romahurmuziy. Menurut Rommy, koalisi Cikeas memiliki alasan tersendiri, kenapa harus mengusung Agus Yudhoyono dan Sylviana.
Agus-Sylviana dianggap prospektif dan "fresh" jika dibandingkan bakal pasangan calon lainnya. “Mereka juga ideal, kombinasi seorang militer yang meraih Adhi Makayasa, lulusan terbaik di angkatannya dan dipadu birokrat yang berpengalaman,” kata Rommy usai deklarasi di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat (23/9) dini hari.
Agus juga, katanya, peraih tiga gelar master dari universitas di luar negeri, yaitu dari Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, John F Kennedy School of Government, Harvard University; dan George Herbert Walker School of Business and Technology, Webster University.
Sementara itu, Sylviana merupakan birokrat karir yang telah menduduki sejumlah jabatan strategis, di antaranya Kepala Satpol PP DKI Jakarta, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Wali Kota Jakarta Pusat, dan terakhir Deputi Gubernur bidang Kebudayaan dan Pariwisata.
Rommy juga menyebutkan, warga Jakarta dihuni 30% suku Jawa dan 24% suku Betawi. Agus beratar belakang Jawa, sedangkan Sylvi adalah seorang Betawi.
Memang, hitung-hitungan kertas itu tidaklah salah. Mungkin bisa disebut matang. Tapi, argumentasi itu tidak lebih dari sekedar justifikasi belaka. Sebab, fakta publik bicara lain. Tingkat elektabilitas Agus tidak jelas. Telinga dan mata publik Jakarta pun tidak akrab dengan Agus.
Lalu, apa alasan kuat yang bisa merangsang publik Jakarta untuk menusukkan paku di kertas pilihan yang bergambar Agus-Sylvi? Track record politik bisa dibilang nihil, karena ia adalah prajurit yang baru berpangkat Mayor dan belum pernah mencicipi aneka rasa menu politik.
Padahal, ini adalah ajang milik masyarakat. Bukan ajang milik keluarga, bukan juga ajang milik partai. Partai hanya sebagai subyek pengusung, sedangkan kekuasaan tertinggi pemilihan ada di tangan masyarakat. Bagaimana mungkin masyarakat memilih, jika tidak mengenalnya.
Mungkin, jika mau dianalogikan, publik hanya disuguhkan tontonan tinju yang tak menarik. Pertandingan antara Mike Tyson lawan Chris John. Siapa yang menang? Sudah pasti semua penonton tahu.
EMPAT partai koalisi Cikeas, Demokrat, PPP, PKB, dan PAN, akhirnya mengusung Agus Harimurti Yudhoyono dan Sulviana Murni sebagai pasangan Cagub-Cawagub DKI.
Keputusan keempat partai ini berbeda dengan Gerindra dan PKS, hingga akhirnya keenam partai yang sebelumnya tergabung dalam koalisi kekeluargaan pun terbelah.
Apakah pilihan keempat partai itu sudah tepat? Sehingga mampu melawan pasangan Ahok-Djarot yang sudah lebih dulu diusung PDIP plus Nasdem, Hanura, dan Golkar?
Jika yang menjadi tolok ukurnya adalah tingkat elektabilitas, maka sangatlah berani kita menyampaikan ucapan "Selamat kepada Ahok-Djarot" atas keputusan gegabah keempat partai itu. Walaupun masih terlalu dini, kita bisa menjamin Ahok-Djarot akan meraih suara signifikans.
Keputusan koalisi Cikeas ini sangatlah subyektif dan jauh di luar nalar sehat. Terlihat jelas bahwa keputusan itu beraroma 'birahi kekuasaan' dari keluarga Cikeas. Kenapa demikian? Mungkin, di memori otak kita masih térsimpan, bagaimana rencana keluarga Cikeas memajukan Ani Yudhoyono yang notabene istri SBY untuk maju di Pilpres, pasca selesainya jabatan SBY di RI1.
Namun apa yang terjadi? Publik pun menanggapinya dengan dingin, tak acuh. Padahal berbagai lembaga survey didorong untuk mengangkat citra Ani. Tapi, hasilnya 'nehi...nehi...'
Tidak hanya itu saja upaya yang dilakukan Cikeas. Nama Ibas Yudhoyono, juga terus dielu-elukan agar bisa diterima publik. Tapi, tetap saja 'dongkrak' tak kuat mengangkatnya.
Kali ini, di ajang Pilgub, lagi-lagi keluarga Cikeas 'menjual diri' dengan mendorong Agus Yudhoyono untuk maju di Pilgub. Mungkin, ini dianggap sebagai momentum 'kali-kali ajah'. Ya, kali-kali ajah publik Jakarta mau menerima Agus. Sebab, jika Agus benar-benar diterima, maka ini adalah pintu gerbang untuk masuk ke ajang Pilpres nanti.
Memang, di negeri yang katanya demokratis ini, tindakan keluarga Cikeas tidaklah salah. Tidak juga ada pasal-pasal dari konstitusi yang dilanggar. Apalagi partai yang mengusungnya pun bernama Partai Demokrat, milik keluarga Cikeas.
Keempat partai koalisi Cikeas pun memiliki segudang argumentasi untuk mengusung Agus. Misalnya argumentasi yang diampaikann Ketua Umum DPP PPP Romahurmuziy. Menurut Rommy, koalisi Cikeas memiliki alasan tersendiri, kenapa harus mengusung Agus Yudhoyono dan Sylviana.
Agus-Sylviana dianggap prospektif dan "fresh" jika dibandingkan bakal pasangan calon lainnya. “Mereka juga ideal, kombinasi seorang militer yang meraih Adhi Makayasa, lulusan terbaik di angkatannya dan dipadu birokrat yang berpengalaman,” kata Rommy usai deklarasi di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat (23/9) dini hari.
Agus juga, katanya, peraih tiga gelar master dari universitas di luar negeri, yaitu dari Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, John F Kennedy School of Government, Harvard University; dan George Herbert Walker School of Business and Technology, Webster University.
Sementara itu, Sylviana merupakan birokrat karir yang telah menduduki sejumlah jabatan strategis, di antaranya Kepala Satpol PP DKI Jakarta, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Wali Kota Jakarta Pusat, dan terakhir Deputi Gubernur bidang Kebudayaan dan Pariwisata.
Rommy juga menyebutkan, warga Jakarta dihuni 30% suku Jawa dan 24% suku Betawi. Agus beratar belakang Jawa, sedangkan Sylvi adalah seorang Betawi.
Memang, hitung-hitungan kertas itu tidaklah salah. Mungkin bisa disebut matang. Tapi, argumentasi itu tidak lebih dari sekedar justifikasi belaka. Sebab, fakta publik bicara lain. Tingkat elektabilitas Agus tidak jelas. Telinga dan mata publik Jakarta pun tidak akrab dengan Agus.
Lalu, apa alasan kuat yang bisa merangsang publik Jakarta untuk menusukkan paku di kertas pilihan yang bergambar Agus-Sylvi? Track record politik bisa dibilang nihil, karena ia adalah prajurit yang baru berpangkat Mayor dan belum pernah mencicipi aneka rasa menu politik.
Padahal, ini adalah ajang milik masyarakat. Bukan ajang milik keluarga, bukan juga ajang milik partai. Partai hanya sebagai subyek pengusung, sedangkan kekuasaan tertinggi pemilihan ada di tangan masyarakat. Bagaimana mungkin masyarakat memilih, jika tidak mengenalnya.
Mungkin, jika mau dianalogikan, publik hanya disuguhkan tontonan tinju yang tak menarik. Pertandingan antara Mike Tyson lawan Chris John. Siapa yang menang? Sudah pasti semua penonton tahu.
sumber: netralitas
0 Response to "ANALISA AKAR RUMPUT"
Posting Komentar