About


Hari ini pemeriksaan Ahok di Bareskrim dimulai. Para saksi ahli dari berbagai kalangan akan dipanggil untuk menentukan apakah Ahok harus dijadikan tersangka kasus penodaan agama. Mari menyatakan sikap.

Jika ditanya, dengan pernyataannya di Kepulauan Seribu itu apakah Ahok telah menista al-Quran, jawablah dengan hati yang penuh cinta: tidak. Dua dalil berikut cukup sebagai sandaran.


Satu, tidak mungkin seseorang yang sedang mencalonkan diri untuk pemilu akan dengan sengaja—sekali lagi, dengan sengaja—menghina simbol sakral dari agama yang dipeluk mayoritas para calon pemilihnya, kecuali yang bersangkutan diam-diam berniat ingin kalah atau ingin dipidana. Unsur kesengajaan ini perlu digarisbawahi, karena ia menentukan penjatuhan status tindak pidana.


Dua, sebagaimana sudah pada tahu, ada kata “pakai” dalam pernyataan asli Ahok. “Makan pakai tangan” jelas berbeda dari “makan tangan”. Penjelasan tentang ini tak perlu berpanjang-panjang sebab sesungguhnya ia tak memerlukan pengetahuan kebahasaan yang canggih. 

Dengan dua hujjah ini saja telah terang benderang, seterang mentari di cerahnya siang hari, bahwa Ahok tidak menista al-Quran.

Yang dia “nista” (dan ini berlaku jika dan hanya jika menyatakan “berbohong” bisa disebut “menista”) adalah “orang”. Kata “orang” di sini berarti secara literal: ya, “orang”. Inilah kata yang eksplisit dipakai Ahok dalam pernyataan aslinya. (Kita nukil transkripnya: “jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu, gak bisa pilih saya, ya — dibohongin pake surat Al Maidah surat 51 macam-macam gitu lho. itu hak bapak ibu. ya. jadi kalo bapak ibu, perasaan, gak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, gak papa.”)

Siapa “orang” yang dimaksud di situ? Ya, “orang”. Kata ini mengacu secara tidak tertentu (indefinite atau, istilah nahwunya, nakirah). Secara eksplisit, kalimat Ahok itu tidak memberi acuan secara khusus terhadap kata itu. Memberi rujukan spesifik terhadap kata “orang” di situ berarti telah menambahkan sesuatu yang tak diucapkan Ahok dalam pernyataan awalnya; telah mengubah kata yang sebelumnya nakirah menjadi ma’rifah.

Seperti MUI dalam “sikap keagamaan”-nya (dan bukan dalam bentuk fatwa sebagaimana lazimnya) yang menafsirkan bahwa kata “orang” di situ mengacu kepada “ulama”. MUI menyebut bahwa Ahok telah “menyatakan bohong terhadap ulama yang menyampaikan dalil surah al-Maidah ayat 51 tentang larangan menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin” dan ini bagi MUI adalah “penghinaan terhadap ulama dan umat Islam.” 

Klaim MUI ini telah menambahkan dua hal plus satu tafsiran yang tidak disebut eksplisit dalam pernyataan Ahok. Satu, kata “orang” ditafsirkan-dispesifikkan menjadi “ulama”. Ketahuilah bahwa kalimat “dibohongi orang” berbeda maknanya dari “dibohongi ulama”. Dengan tanpa rujukan spesifik, kata “orang” bisa mengacu ke orang biasa yang bukan ulama. Sekali lagi, karena tak spesifik, melakukan spesifikasi adalah menambahkan hal yang tak disebut dalam pernyataan awalnya.

Dua, klaim MUI itu telah menafsirkan-menspesifikkan apa isi kebohongan yang diacu Ahok. Kalimat Ahok sendiri tak secara eksplisit menyatakan bahwa kebohongan yang dimaksudnya ialah tentang “larangan menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin”. Simaklah transkrip Ahok itu: selain tidak ada kata “ulama”, bahkan tidak ada kata “pemimpin” di situ. Ahok juga hanya memakai kata kerja pasif, “dibohongin”, tanpa menyebut apa isi kebohongan yang dimaksud, setidaknya secara eksplisit.


Tiga, MUI telah menafsirkan bahwa “menyatakan bohong terhadap ulama” adalah “penghinaan terhadap ulama dan umat Islam.” Klaim ini bukan hanya telah menspesifikkan bahwa “orang” yang berbohong itu adalah “ulama” melainkan juga telah menggelembungkannya menjadi “penghinaan terhadap umat Islam”. 

Mari ingat lagi satu poin di awal tulisan ini: tidak mungkin seorang yang sedang mencalonkan diri akan dengan sengaja—sekali lagi, dengan sengaja—menghina mayoritas calon pemilihnya (dalam hal ini: “umat Islam”).

Tiga hal ini problematis. Untuk mengatasinya adalah dengan menentukan apa makna yang dirujuk dari kata “orang” dan apa isi kebohongan yang dimaksud Ahok dalam pernyataan Ahok itu. Cara mengatasinya setidaknya ada dua.
Satu, terutama untuk maksud kata “orang”, ialah dengan konfirmasi ke Ahok sendiri sebagai author dari ucapannya untuk mengetahui maksud aslinya. Juga apakah dalam benaknya saat itu ia mengacu ke ulama atau orang-orang lain dalam konteks yang lain (misalnya, seperti disebut Kapolri Tito Karnavian mengutip penasehat hukum Ahok: itu berkaitan dengan orang-orang yang menebar selebaran untuk menjegalnya dalam konteks pemilukada Belitung 2007).

Atau, dua, terutama untuk isi kebohongannya, ialah dengan melihat kalimat-kalimat lain dalam transkrip itu sebagai indikator (qarinah). Satu indikatornya ada di kalimat setelahnya: “jadi kalo bapak ibu, perasaan, gak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, gak papa.” 

Dengan berdasar pada kalimat ini, tafsir yang terdekat ialah bahwa isi kebohongan atau “pembodohan”-nya ialah kalau memilih Ahok akan masuk neraka, dan bukan “larangan menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin”. 

Dua tafsir ini berbeda. Ahok tidak menafikan ada tafsir yang melarang nonmuslim sebagai pemimpin dan bahkan mempersilakan para pemilihnya kalau-kalau demi kenyamanan hatinya ingin mengadopsi tafsir itu—dengan indikator lagi dari kalimat “itu hak bapak ibu ya.” Ahok sadar ada tafsiran begitu, dan menyatakan bahwa mengadopsi tafsir semacam itu adalah “hak bapak ibu”, persisnya “bapak ibu” yang jadi audien dalam pidato di Kepulauan Seribu itu.


Tapi dengan tafsir bahwa “yang memilih Ahok akan masuk neraka”, implikasinya akan lain, karena untuk menentukan bahwa klaim semacam ini adalah kebohongan sesungguhnya bukan hal yang mudah.

Kebohongan, mari sepakati, ialah ketidaksesuaian antara pernyataan dan kenyataan. Cara menentukan sesuatu sebagai kebohongan ialah dengan memvalidasinya apakah ia sesuai dengan fakta. Dalam kasus pernyataan Ahok itu, fakta yang harus divalidasi ialah: apakah benar seorang Muslim akan masuk neraka karena memilih Ahok?

Fakta apakah seseorang akan masuk neraka, kita tahu, tidak bisa divalidasi saat ini, tapi nanti, di Hari Akhir, dengan Hakim-nya—bagi seorang Muslim—adalah Gusti Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan kalimat lain, untuk memvalidasi kebenaran klaim itu, seseorang harus melakukan konfirmasi—dan karena itu harus punya akses valid—terhadap-Nya. 

Apakah Antum, ayyuhal-ikhwah, bisa? Saya, yang tak perlu dihina pun sudah hina nan penuh dosa ini, tidak bisa.

Di samping itu, untuk Antum, terutama yang bekerja di bahwa institusi yang dipimpin oleh seorang yang tidak beragama Islam, jawablah dalam hati Antum pertanyaan ini: ada orang datang dan bilang kepada Antum bahwa Antum harus keluar dari pekerjaan di institusi tersebut karena pemimpin Antum tak beragama Islam dan karena itu, kalau Antum tidak keluar, maka Antum akan masuk neraka; bisakah orang ini disebut (tidak) berbohong? Saya tidak mau percaya dengan orang seperti ini.


Lagi pula, dengan proses hukum yang berjalan untuk Ahok saat ini, dan aturan hukum yang akan dipakai ialah pasal 156a KUHP tentang penodaan agama, penjelasan tafsir-tafsir di atas hanya berlaku jika dan hanya jika menyatakan “dibohongin orang” adalah sama dengan “menista Islam”. Kalau mengikuti cara berpikir ini, menyatakan orang berbohong, sementara siapa orang yang dimaksud dan apa isi kebohongannya masih multitafsir, adalah sama dengan menista Islam? Orang Islam atau ulama = Islam? Na’udzubillah dari “logika” semacam ini.


Jadi, sebagai kesimpulan: kalimat Ahok itu mengandung ambiguitas untuk dinyatakan menista agama. Ia kabur sebagai basis bukti. Kekaburan bukti, baik dalam hukum Islam maupun hukum positif, tidak seharusnya menjadi dasar pemidanaan seseorang. Dalam hukum pidana Islam, kekaburan itu ialah syubhat. 

Satu legal maxim (kaidah fikih) dalam Islam berbunyi, “tudra’ al-hudud bis-syubuhat (hukuman pidana harus ditangguhkan jika dasar buktinya kabur).” Ini sama dengan asas in dubio pro reo dalam hukum positif: “jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa salah atau tidak, maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa, yaitu dibebaskan dari dakwaan.” Kaidah fikih juga berbunyi: “al-khatha’ fil-‘afwi khairun minal-khatha’ fil-‘uqubah” (kesalahan dalam memaafkan/membebaskan lebih baik daripada kesalahan dalam menghukum). Ini hal yang sama belaka dengan adagium dalam hukum positif: “lebih baik salah membebaskan daripada salah menghukum.”

Terakhir, pasal di KUHP tentang penodaan agama itu bukan hanya pasal 156a. Pasal 156, yang berada tepat di atas 156a KUHP itu merujuk kepada siapa saja yang “di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia.” 

Dari sebagian pemimpin sebagian kelompok Islam ada yang sebenarnya jatuh dalam kategori yang dimaksud pasal 156 itu, bahkan dengan kalimat yang lebih sharih nan eksplisit dibanding Ahok. Maka bagi mereka yang memperjuangkan “supremasi hukum”, sudah seharusnya bukan hanya mengusut Ahok, melainkan juga orang-orang tertentu dari sebagian kelompok Islam itu. Seharusnya begitu. Seharusnya begitu. ------------------------------------------------------------ Post Script. Tambahan dibawah ini ditulis setelah selang sekitar setengah hari setelah tulisan di atas diunggah. Ini demi menanggapi beberapa argumen balik terhadap analogi yang dibuat untuk frase “dibohongin pakai.”
***
Hingga saat ini, setidaknya dari yang sudah saya temui, ada dua bentuk keberatan dari kalangan yang bersikukuh bahwa Ahok tetaplah menista al-Quran sekalipun ada kata “pakai” dalam pernyataanya.
Pertama, analogi yang dipakai seharusnya sama-sama dengan kalimat pasif. Dalam postingan di atas, misalnya, analoginya adalah “makan pakai tangan” dan “makan tangan”. 


Keberatan ini mudah dipatahkan. Yah, tinggal diganti saja dengan kata kerja pasif: “dimakan pakai tangan” dan “dimakan tangan”. Gampang, to? Maknanya sama saja. Karena titik tengkarnya bukan pada kata kerjanya aktif atau pasif, tapi pada siapa subjeknya antara dengan “pakai” dan tanpa “pakai”. Mau dibuat aktif (“makan pakai tangan”) atau pasif (“dimakan pakai tangan”), selama ada kata pakai di situ, maka kata setelah pakai tetap berfungsi sebagai alat, bukan subjeknya.


Kedua, bahwa meski sudah ada kata “pakai”, kalimat itu tetap berarti bahwa al-Quran menjadi alat pembohongan, dan ini menghina al-Quran. Yang problematis dalam keberatan ini ialah: dari statemen “al-Quran menjadi alat untuk berbohong” tiba-tiba meloncat pada kesimpulan “menghina al-Quran”.
Mari tidak menutup mata: ada orang-orang yang dengan al-Quran telah menjadikannya alat untuk membenarkan kebencian, kekerasan, bahkan pembunuhan terhadap orang lain yang dianggapnya menyimpang, sesat, kafir, dan semacamnya. Tapi kita juga fair: ada orang-orang yang dengan al-Quran telah menjadikannya sebagai alat yang menginspirasinya untuk menebar keadilan dan cinta.


Sebagai alat, ia netral saja. Yang menggunakan alat itulah, yang menjadikan baik atau buruk.

Analoginya: pisau bisa menjadi alat untuk membunuh, tapi juga bisa menjadi alat untuk memasak. Media sosial bisa menjadi alat untuk menyebar dusta dan fitnah, tapi juga bisa menjadi alat untuk melakukan advokasi atas nama keadilan dan perdamaian. Yang membuat pisau dan media sosial ini bernilai baik atau buruk tergantung pada penggunanya. Alat tidak bisa bergerak independen; ia bergerak dengan digerakkan penggunanya.

Analogi ini tidak bisa diterima karena pisau dan media sosial bukan sebuah teks seperti al-Quran? Baik, kita ambil analogi yang lebih dekat. Misalnya, hadis.
Orang bisa memakai hadis yang menyatakan bahwa perempuan itu nilai akal dan agamanya setengah untuk merendahkan perempuan. Tapi orang juga bisa memakai hadis yang menyebut ibu tiga kali berbanding ayah yang cuma sekali sebagai dalil untuk menghormati perempuan karena perempuan adalah dari “kaum ibumu”.

Atau, langsung saja analoginya dengan ayat al-Quran. Orang bisa menjadikan al-Quran sebagai alat untuk membenarkan potong tangan untuk pencuri, cambuk 100 kali untuk pezina, atau—seperti ayat “hirabah” yang disebut oleh Wasekjen MUI di sebuah acara TV—agar para penista Islam “dibunuh, disalib, dipotong tangan-kakinya, atau diusir.” Tapi orang juga bisa menjadikan al-Quran sebagai alat untuk meyakinkan umat Islam bahwa, meski ada ayat-ayat tersebut, syariah tidak boleh lepas dari porosnya, yaitu keadilan (al-‘adl atau al-qisth).


Al-Quran juga bisa dipakai untuk meyakinkan umat Islam bahwa, meski ada perintah yang secara sekilas tampak memerintahkan untuk berhukum dengan hukum Islam (yang lalu ditafsirkan secara formal bahwa negara harus juga negara Islam), al-Quran juga memerintahkan untuk menepati janji; bahwa kita bersepakat, negara ini didirikan untuk “semua buat semua”, bersendikan “bhinneka tunggal ika”, dengan konstitusi yang berasaskan prinsip kesetaraan warga negara tanpa memandang agamanya.


Jadi, sekali lagi, sebagai alat, ia netral: tidak bernilai baik atau buruk. Yang menggunakan alat itu yang menjadikannya baik atau buruk. Al-Quran menjadi “alat kebaikan” karena “pemakainya” menggunakannya untuk menebar kebaikan. Al-Quran menjadi “alat keburukan” karena “pemakainya” menggunakannya untuk menebar keburukan.


Yang seperti ini belum memahamkan? Baiklah saya nukilkan terakhir pernyataan terkenal, yang terekam antara lain dalam Tarikh at-Thabari, dari Ali ibn Abi Thalib terhadap orang Khawarij yang mengafirkan khalifah keempat itu sebab tidak mau berhukum dengan al-Quran. Beliau, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad shallallahu ‘alayh wa sallam itu, berkata:

“Hadza al-Quran innama huwa khatthun masthurun bayna daffatayn; la yanthiq wainnama yatakallamu bihi ar-rijal”


Artinya: “Al-Quran ini hanyalah tulisan yang terbubuhkan di antara dua sampul; ia tidak bicara; orang (penafsirnyalah) yang berbicara atas namanya.”
Perhatikanlah kalimat itu, Ali ibn Abi Thalib memberikan atribusi terhadap al-Quran sebagai “hanya tulisan” dan “tidak bicara”. Pernyataan itu, sesuai dengan pandangan di atas, menjadikan al-Quran sebagai alat, yang nilai baik atau buruk tergantung pada “penafsir yang berbicara atas namanya.”


Begitulah. Analogi-analogi di atas semoga cukup. Kalau tidak cukup, maka tiada yang bisa kita lakukan kecuali tawakkal saja. Barangkali untuk bisa memahamkan yang bersangkutan sudah berada di luar batas kemampuan kita.

0 Response to "Ahok Tidak Menista al-Quran"

Posting Komentar