About

Ananta Damarjati; Jangan Naif, Bangsa Ini Butuh FPI




Jakarta tak ada bedanya dengan kebanyakan kota lain, apalagi dalam tradisi konflik antar kampung, antargeng, antar famili. Perkaranya seperti biasa, sepele. Kemarin sampai saat ini, Jakarta sedang menyelebrasi sebuah pertikaian yang membawa ribuan orang tidak berdosa. Jumat lusa (2/12), pertikaian itu masih diteruskan.

Yang menarik dari pertempuran ideologis tersebut adalah pesertanya, besok diperkirakan konsentrasi massa akan sama hebatnya seperti kemarin. Jakarta akan dipenuhi berbagai etnis dengan satu kepentingan yang sama, Jumatan!! Orang-orang Jawa, Sunda, Batak, Madura, Betawi, dan sebagainya akan lenyap identitasnya sebagai etnis atas nama wibawa dan harga diri.

Tuntutan ribuan saudara tidak berdosa ini secara garis besar adalah keadilan. Penistaan yang terjadi kemarin telah diklasifikasi sebagai suatu pelanggaran, baik dilihat dari sudut agama maupun undang-undang. Di sisi lain, ada anggapan yang mengacu pada realitas, bahwa aparat penegak hukum cenderung toleran dan bertele-tele dengan pelanggaran itu. Akhirnya, muncul inisiatif untuk bertindak, dengan cara dan model mereka sendiri.


Tapi, tentunya amat sangat gegabah kalau kemudian yang disalahkan adalah sikap toleransi terhadap etnis tertentu atas nama pluralitas. Karena dilihat dari berbagai sudut, toleransi adalah pilihan budaya yang cerdas, yang sekurang-kurangnya memungkinkan adanya peaceful coexistence (hidup berdampingan secara damai), seperti dikatakan Ignas Kleden dalam bukunya (24:2001).

Atau kalau beruntung, toleransi dapat menciptakan suatu fertilisasi silang dari berbagai pandangan, kebiasaan dan nilai-nilai budaya dalam komunikasi antara berbagai kelompok. Sebaliknya, intoleransi akan merupakan pilihan yang merugikan dan tidak inteligen, karena tanpa toleransi akan mudah sekali timbul konflik antar-budaya, kesalahpahaman bahasa, perselisihan agama, dan barangkali kebencian antaretnis.

Semua tampak indah kalau kita memandang toleransi sebagai sifat kebudayaan. Tetapi, toleransi dapat juga menjadi checklist untuk menguji hubungan yang tidak selalu mulus antara aspek religiositas dan pluralitas. Dari sini, memang tidak ada salahnya kalau ada semacam dugaan: Apakah memaklumi penistaan agama terhadap nilai-nilai religiositas adalah disebabkan oleh toleransi tanpa koridor?

Hal ini tidak mustahil terjadi kalau seseorang terbiasa menerima atau menolerir pluralitas tanpa batas yang tegas, ada kemungkinan akan diterimanya juga penyelewengan nilai religiositas. kalau ini terjadi, kita terjebak dalam sebuah category mistake serius karena memasukan sebuah tindakan dalam kotak pengertian yang keliru seperti yang terjadi pada kota Jakarta sekarang.

Kekeliruan tersebut terjadi karena penghilangan nilai-nilai religiositas yang diatasnamakan sebagai konsekuensi dari pluralitas. Pluralitas di sebuah kota memang tidak bisa dihindari, tapi penyelewengan dari aspek religiositas yang mengakibatkan samarnya kriteria salah dan benar juga tidak bisa dianggap wajar. Pada titik ini, toleransi memang sedang diuji tatkala krisis moral dan spiritual pun akhirnya dihadapi dengan sikap toleran.

Maka atas dasar demokrasi, FPI sebagai corong toa dalam kasus ini punya hak untuk menyuarakan pendapatnya, hak untuk hidup, berkembang dan dilindungi. Dan memang sejak awal berdirinya sebagai –Cak Nur menyebutnya- “ledakan parsipatoris”, sampai sekarang FPI masih terus eksis dan konsisten dengan merek dagangnya sebagai gerakan anti-maksiat dalam peta sosial organisasi di Indonesia.

Untuk beberapa sebab, kehadiran FPI di Jakarta saat ini memang sangat dibutuhkan. Jakarta butuh FPI yang mengumandangkan merek dagangnya yang biasa mereka sebut reformasi moral, saat elemen masyarakat lain menyerukan reformasi politik, ekonomi atau hukum. Karena kota besar punya kecenderungan untuk me-nomorsekian-kan moral, di tengah pluralitas budaya yang membawa nilai etnik berbeda-beda.

Saat ini, atas nama demokrasi FPI mengawal kasus yang telah menghabiskan energi masyarakat tersebut. Baiklah, bagi FPI, Ahok telah menistakan agama. Maka sesuai domainnya sebagai penjaga moral, FPI berkewajiban mengawal proses hukumnya. Lalu, bagaimana dengan wilayah lain sebagai bleberan dari kasus penistaan Ahok?

Kalau FPI konsisten untuk menjaga moral, jelas politik bukan wilayah FPI, saya rasa. Juga, andai FPI tidak setengah-setengah memaknai demokrasi, jelaslah bahwa DKI 1 bukanlah pemilihan wali (pemimpin) seperti yang selama ini dikontrasi olehnya, karena DKI 1 tak lebih dari PRT 1. Jadi, sebenarnya yang Jakarta ributkan sekarang tak lebih dari pembantu rumah tangga, tak lebih.

Dalam situasi sepele semacam ini, Presiden yang diharapkan kejantanannya malah mlipir dengan menghembuskan isu aktor politik tanpa tindak lanjut. Yasudah, ruwet-ruwet sisan!! Walaupun langkah Presiden tersebut kurang populer dan menyakitkan banyak hati, isu tersebut punya kemungkinan untuk menjadi benar kalau melihat kenyataan bahwa agama telah beberapa kali dipakai untuk menggulingkan kekuasaan.

Maka, penyusup gelap dibalik pertarungan jujur FPI vis a vis Ahok jelas lebih membahayakan. Ini tragis. Agama telah menjadi bulan-bulanan bahkan bahan mainan dari nafsu kekuasaan yang tak terbendung. Kepentingan politis memainkan sentimen agama bak kelinci lucu yang lari kesana kemari. Berbekal basis massa yang besar, FPI sedang dieksploitir habis-habisan oleh segelintir aktor, pinjam bahasa Presiden.

Pertanyaan elementer yang muncul kemudian adalah; seberapa efektif isu agama untuk dijadikan kuda troya dalam kasus Jakarta kali ini? Apakah kuasa atas massa di dalamnya benar-benar telah berjalan satu arah tanpa perlawanan?

Ini hanya salah satu kemungkinan, diantara sekian kemungkinan lain. Relasi-kuasa yang terjadi dalam kasus ini persis seperti yang diungkapkan Michel Foucault bahwa kuasa berjalan dalam dua arah, setiap ada kuasa pasti ada perlawanan. Bahwa pekik takbir penolakan Gubernur non-muslim bisa jadi hanya sebatas sebuah alat mobilisasi massa dalam kampanye politik yang tidak serta merta memengaruhi ideologi masyarakat.

Naif memang kalau menganggap FPI dapat menggiring ribuan massanya untuk tidak memilih Gubernur non-muslim. Terlepas dari andilnya untuk menyatukan massa yang begitu besar, tidak ada satupun orang atau oraganisasi yang dapat menentukan masyarakat untuk mencoblos yang dikehendakinya di kotak suara esok. Saya kira, sudah tidak zaman lagi untuk menganggap masyarakat sebagai seseorang yang tidak banyak tahu.

Pada titik ini, entah kenapa saya merindukan konser dangdut yang biasanya efektif untuk menggalang massa, alih-alih agama. Banyak penyanyi dangdut Jakarta sambat, itu pasti. Lahan yang semestinya menjadi penghidupan mereka luluh-lantah oleh sapi perah yang menghasilkan susu lebih banyak. Mereka hanya kebagian konser-konser yang iprit-iprit, dan merelakan suara emasnya, tabuhan gendangnya dan alunan musiknya direnggut oleh hal lain.

Jadi, masalah ini memang benar-benar masalah sepele, pangkal masalahnya ada pada hak-hak atas penghidupan seseorang yang diserobot oleh orang lain, itu saja. Penyanyi dangdut yang seharusnya meliuk-liuk di atas panggung sudah kalah pamor. Nasibnya hampir sama dengan warung pedagang kecil yang berhadapan dengan swalayan-swalayan yang megah.

Maka, tidak ada salahnya untuk sebijak mungkin memunculkan kembali toleransi sebagai sebuah kebudayaan, toleransi adalah hal satu-satunya yang asli dari bangsa kita yang mulai luntur perlahan. Tidak ada salahnya juga bagi siapa saja yang menolak untuk ikut aksi 2/12 kalau ada paksaan. Kalau memang rela ikut, ya monggo. Saya hanya mau mengingatkan, waktunya jam 8 pagi sampai setelah shalat jumat. Jaga ketertiban, keamanan dan kebersihan.

Kalau saya, jam 8 itu waktu yang tepat untuk minum yang hangat-hangat. Banyak santri yang percaya; “ngopi ba’da dhuha afdlolu minaddunya wa ma fii haa”, ngopi setelah waktu dhuha itu lebih utama daripada dunia seisinya. Bayangkan!! Dunia seisinya!! Apalagi kalau kopinya dibuat dengan filosofi orang Turki; sehitam neraka, seperkasa maut, dan semanis cinta, amboooiii….

“Kekeliruanlah yang membuat hewan menjadi manusia—karena hewan tak bisa khilaf, sedangkan manusia sering keliru” [Nietzsche]

Di salin dari laman, Seword.com dan ditulis oleh Ananta Damarjati.

0 Response to "Ananta Damarjati; Jangan Naif, Bangsa Ini Butuh FPI"

Posting Komentar