
Berawal dari ide e-budjeting dalam system manajemen pemerintahan yang dicetuskan oleh Jokowi (saat itu masih menjabat Gubernur DKI). Sebuah ide yang sebagian elit birokrat dianggap mustahil diterapkan. Bagaimana sebuah perhitungan anggaran, keluar masuk dana dan belanja pemerintah hingga alokasi dana proyek diformat secra on line, terbuka transparan siapa saja bisa mengakses sekaligus mengawasi. Bak guntur di siang bolong, sebagian oknum birokrat merasa terancam lahan korupsinya gegara Jokowi. Namun itulah awal perubahan manajemen pemerintahan yang akan kita saksikan efek dominonya bagi semua lini.
Skenario politikpun dirancang. Jokowi harus hengkang dari DKI, Pilihan logis dan berpelung besar adalah dengan menaikkannya menjadi Calon Presiden RI. Berhadapan dengan Prabowo Subiyanto yang sudah lama digadang sebagai The Next Leader in Indonesia. Jokowi-pun nurut apa kata skenario yang ditimpakan padanya. Dalam hitungan matematika politik Prabowo akan menang dengan segala kelebihan dukungan dana, kharisma hingga popularitasnya. Jokowi rela melepaskan jabatan Gubernur dan secara otomatis Ahok menggantikannya secara kontstitusional.
Dasar sialnya para perancang skenario kelas tinggi itu. Diluar dugaan Jokowi berhasil mengalahkan Prabowo dalam Pilpres. Terlepas dari permasalahan masing masing tim sukses melakukan kecurangan, namun secara konstitusi Jokowilah yang sah mendapat mandat Presiden ke 7. Kekacauan situasi dunia persilatan politik, ekonomi dan hukum dari pembuat skenario semakin bertambah runyam. Jokowi malah naik pangkat. Dan Ahok yang ketiban “lungsuran” jabatan Jokowi ternyata lebih “gila” memimpin Jakarta. Tidak bisa dikendalikan dan cenderung membabi buta menyerang politisi hitam, preman preman birokrat dan pengusaha oportunis yang bertebaran di segala lini khususnya DKI Jakarta. Mengemban amanat sepeninggalan Jokowi, e-budjeting lanjut dirancang secara “otoritor” oleh Ahok, karena berlomba dengan di waktu sisa masa jabatannya. Korban e-badjeting berjatuhan. Berawal dari RAPBN DKI yang selisih 1,2 trilyun hingga proyek pengadaan UPS yang “menggelikan” tersebut.
Skenario baru penghancuran Ahok-pun disusun. Kasus Sumber Waras tidak cukup ampuh menjerat Ahok. Mega Proyek Reklamasi menghajar Ahok dari segala penjuru gegara M. Sanusi Anggota Dewan tertangkap tangan menerima suap dari pengusaha. Pihak Kementrian terkait, Anggota Dewan hingga Pengusaha hitam menumbalkan Ahok sebagai penyebab carut marutnya proyek pengurukan laut tersebut. Tapi bukan Ahok kalau tak pandai berargumen. Ahok berkilah melnjutkan dan melaksanakan Undang Undang tentang Reklamasi pada pemerintahan sebelumnya. Dan hingga pertengahan tahun ini Ahok masih tak tersentuh skenario hitam preman preman berdasi.
Waktu terus berjalan, jadwal pemilihan Gubernur secara langsung sudah di depan mata. Sungguh kiamat dunia terjadi bagi habitat penjahat anggaran jika Ahok maju apalagi terpilih menjadi Gubernur DKI.
Sepertiga periode saja sudah bikin pusing apalagi satu periode. Mereka sadar justru tanpa Partai, Ahok malah semakin kuat dan kurang ajar. Seolah sadar bakalan tak ada Partai yang akan mengusungnya kelak menjadi Cagub, Ahok menciptakan “permainan” manis di jalur Independent. Teman Ahok secara mengejutkan telah memporak porandakan tatanan demokrasi parpol.
Terlepas valid tidaknya 1 juta lebih dukungan KTP yang terkumpul, nyatanya Parpol gerah bukan kepalang. “Ini orang maunya apa sih?” begitu kira kira isi kepala para petinggi Partai. Mau tak mau PDI-P yang masih merasa memiliki Wakil Gubernur Djarot terpaksa harus mengusung pasangan Ahok dan Djarot sebagai pasangan yang berpeluang besar menang dalam Pilgub langsung 2017. Dengan harapan dan usaha, jika nantinya Ahok terpilih kembali menjabat Gubernur masih ada Djarot jika sewaktu waktu Ahok bermasalah.
Serangan penghancuran Ahok oleh Partai justru akan semakin kencang setelah sah menjadi Gubernur. Strategi mencaraikan pasangan Kepala Daerah serupa Jokowi – Ahok dulu diulang lagi. Kali ini sasarannya Ahok – Djarot.
Namun seperti yang sedang kita nikmati, bersama, kita sedang disuguhi drama politik lain. Ternyata ada fihak yang berikeras menghancurkan Ahok secepat mungkin. Ahok itu bahaya latent. Maka siasat pelemahan Ahok-pin bergeser ke arah SARA. Ahok yang “kebetulan” non muslim, temperamen namun putus urat takutnya harus berhadapan dengan sekelompok Aliran Pembela Islam .
Namun seperti yang sedang kita nikmati, bersama, kita sedang disuguhi drama politik lain. Ternyata ada fihak yang berikeras menghancurkan Ahok secepat mungkin. Ahok itu bahaya latent. Maka siasat pelemahan Ahok-pin bergeser ke arah SARA. Ahok yang “kebetulan” non muslim, temperamen namun putus urat takutnya harus berhadapan dengan sekelompok Aliran Pembela Islam .
Haram hukumnya mayoritas penduduk muslim dipimpin seorang non muslim, kafir. Proses hasutan menolak Ahok masuk ke ranah Agama. Di kawasan tertentu mimbar dakwah masjid disusupi kepentingan politik. Larangan memilih pemimpin dengan dalil Surat Almaidah-51 menjadi santapan rohani para jamaahnya. Wilayah berfanatik tinggi meningkatkan sosialisasi anti kafirnya ke mimbar pengajian. Sebagian sepakat, sebagian lagi belum sepakat.
Ahok-pun gerah dengan situasi seperti itu. Ahok yang mulutnya hyperaktif tak bisa menahan gondok di hatinya. Alhasil keluarlah kalimat. “Jangan mau dibohongi pake surat Al-MAidah-51”. Pucuk dicinta ulam tiba. Cukup dengan menghilangkan satu kata “pake” menjadi kalimat “Jangan mau dibohongi surat Al-Maidah-51” para seteru Ahok sukses membenturkan Ahok dengan umat Islam.
Efeknya luar biasa, gerakan menghancurkan Ahok merebak ke seluruh penjuru negeri. MUI dengan dramatis segera mengeluarkan fatwanya berdasarkan video dan transkrip manipulasi editing dari seorang Buni Yani. Situasi bergeser ke arah saling fitnah. Buni Yani mengaku bersalah, video asli-pun di unggah. Namun umat sudah terlanjur marah. Jokowi “kalang kabut” gegara ulah Ahok.
Efeknya luar biasa, gerakan menghancurkan Ahok merebak ke seluruh penjuru negeri. MUI dengan dramatis segera mengeluarkan fatwanya berdasarkan video dan transkrip manipulasi editing dari seorang Buni Yani. Situasi bergeser ke arah saling fitnah. Buni Yani mengaku bersalah, video asli-pun di unggah. Namun umat sudah terlanjur marah. Jokowi “kalang kabut” gegara ulah Ahok.
Situasi negeri terancam dengan sentiment Agama. Lewat pernyataan resminya Jokowi menyatakan Aksi Demo 4 November-pun disusupi aktor intelektual. Entah sebuah ancaman halus atau memancing tikus keluar sarang, pernyataan Jokowi selaku Presiden mengindikasikan mencium adanya konspirasi provokasi tingkat tinggi yang akan merongrong kestabilan negara secara terang terangan. Tapi sudahlah, siapapun dia, itu tidak penting. Karena yang utama adalah sang aktor sudah terantisipasi niatan buruknya.
Melalui Kapolri. Presiden Jokowi menginstruksikan proses hukum kasus dugaan penistaan Agama oleh Ahok dibuka blak blakan. Gelar perkara oleh Tim Penyidik rencananya akan terbuka dan disiarkan secara langsung oleh stasiun Televisi. “Siapa takut” kata Ahok dalam hati. MUI sebagai pencetus Fatwa Ahok sang penista Agama Islam ikut diminta keterangannya.
Melalui Kapolri. Presiden Jokowi menginstruksikan proses hukum kasus dugaan penistaan Agama oleh Ahok dibuka blak blakan. Gelar perkara oleh Tim Penyidik rencananya akan terbuka dan disiarkan secara langsung oleh stasiun Televisi. “Siapa takut” kata Ahok dalam hati. MUI sebagai pencetus Fatwa Ahok sang penista Agama Islam ikut diminta keterangannya.
Dasar dikeluarkannya Fatwa sudah jelas berasal dari barang bukti video palsu alias editan. Jika ini terjadi bisa kemungkinan MUI akan membatalkan Fatwa yang sudah sukses meyakinkan (sebagian) umat Islam untuk bersatu menyerang Ahok. Menarik Fatwa bukan perkara mudah, karena akan berdampak preseden buruk bagi MUI.
Jadi pertanyaan utamanya, loloskah Ahok dari jeratan hukum kasus ini? Dari uraian kronologis di atas saya pribadi masih meyakini Ahok tetap selamat dengan ataupun tanpa campur tangan Jokowi. Ahok tetap berhak menjadi Calon Gubernur yang sah. Atas campur tangan mesin politik PDI-P berpeluang besar memenangkan Pilkada. Misi e-budjeting tinggal selangkah lagi, selanjutnya.
DKI sebagai Ibukota Negara Indonesia menjadi barometer manajemen pemerintah daerah lain. DKI yang sejajar dengan London, Tokyo, dan kota kota besar lain yang telah lebih dulu menerapkan transparasi manajemen.
Lantas sebegitu “menakutkan-kah e-budjeting itu? Bagi “mafia ekonomi” e-budjeting adalah bentuk penistaan yang meyakitkan untuk dunia korupsi. Jokowi bersama Ahok sahabatnya sepakat bulat menciptakan system manajemen pemerintahan yang minim terciptanya celah korupsi. Memberantas korupsi dengan cara menciptakan sistem. Karena memberantas korupsi dengan cara menangkapi koruptor satu persatu adalah pekerjan ngeselin. Suwer deh !!
Depok, 07/11/16
Lantas sebegitu “menakutkan-kah e-budjeting itu? Bagi “mafia ekonomi” e-budjeting adalah bentuk penistaan yang meyakitkan untuk dunia korupsi. Jokowi bersama Ahok sahabatnya sepakat bulat menciptakan system manajemen pemerintahan yang minim terciptanya celah korupsi. Memberantas korupsi dengan cara menciptakan sistem. Karena memberantas korupsi dengan cara menangkapi koruptor satu persatu adalah pekerjan ngeselin. Suwer deh !!
Depok, 07/11/16
Penulis : Dahono Prasetyo
0 Response to "ADA APA DENGAN JOKOWI AHOK KINI?"
Posting Komentar