About

Ahok Melawan Tuhan Mayoritas dan Negaranya Sendiri


3 hari terakhir ini saya tak sempat mengikuti berita-berita media mainstream karena lebih sering di jalan. Pasti ada banyak berita dan cerita lucu tentang politik tanah air yang saya lewatkan.

Dinihari tadi saya sempat baca beberapa berita dan inbox teman-teman pembaca tentang banyak hal. Sampai akhirnya saya pikir akan dirangkum dalam 1 artikel ini: Ahok Melawan Indonesia dan Tuhan Mayoritas.

BPK Ngaco

Sekalipun BPK ini lembaga negara yang katanya tidak boleh dilecehkan, tapi saya setuju dengan Ahok bahwa “BPK ngaco.” BPK menyatakan bahwa tanah Sumberwaras yang dibeli Ahok berada di Jalan Tomang Utara. NJOP nya 7 juta rupiah permeter. Semetara Pemprov DKI atau Ahok membeli tanah menurut harga pasar dengan pertimbangan NJOP 20 juta rupiah permeter, karena menilai tanah tersebut masuk Jalan Kyai Tapa.

Mana yang benar? Menurut Badan Pertanahan Nasional, tanah tersebut berada di Jalan Kyai Tapa.

Hal ini menjadi menarik karena BPK dengan kuasanya bisa menyatakan apapun dan pasti diterima publik. Sekali lagi pasti. Jadi kalau BPK menyatakan ada kerugian negara 191 milyar rupiah, mau tak mau semua media akan menuliskan berita yang sama.

Hitungan BPK yang menemukan kerugian negara sebesar 191 milyar rupiah berdasarkan hitungan perbandingan dengan tahun 2013.

Sumber Waras menjual lahan tersebut seharga Rp 15,500 juta per meter persegi atau lebih tinggi dari NJOP pada saat itu (12,195 juta). Jika harga yang ditawarkan Sumber Waras dikali luas lahan yang dibeli seluas 36.441 meter persegi, maka pembayaran tersebut sebesar Rp 564 miliar.

Selanjutnya, pada 7 Desember 2014, Pemprov DKI melakukan ikatan kontrak untuk pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras dengan luas lahan 36.441 meter persegi. Pada tahun tersebut, NJOP sebesar Rp 20,755 juta per meter persegi.

Sumber Waras mengatakan, pihaknya menjual lahan tersebut setara dengan NJOP tahun 2014. Jika diakumulasikan, NJOP sebesar Rp 20,755 juta dikali luas lahan, yakni 36.441 meter, maka didapatkan penjumlahan sebesar Rp 755 miliar.

Jadi 755 – 564 = 191 milyar rupiah. Dengan dua pertimbangan, lokasi Jalan Tomang Utara dan harga tahun 2013, BPK kemudian menyatakan “ada kerugian negara 191 milyar rupiah.”

Selain itu, ada juga perbedaan pendapat tentang cara pengadaan pembelian tanah.

Ahok mengungkapkan, dirinya memakai aturan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Aturan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Sementara itu, BPK memakai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Perbedaan pengguaan peraturan hukum ini jadi mirip seperti cerita reklamasi pantai utara Jakarta, sangat bisa diperdebatkan karena memang ada dua produk hukum yang bertentangan.

Terlepas dari semua bahasan detail yang sedang berkembang, saya lebih tertarik melihatnya dari sisi politik. BPK ini lembaga negara yang seharusnya diisi oleh kalangan profesional auditor, namun nyatanya dikendalikan oleh politisi salah satu partai politik, mantan DPR 2004-2009 dan Caleg gagal 2014 lalu: Harry Aziz.

Apa yang terjadi pada Ahok dengan label “adanya kerugian negara” oleh BPK dapat dialami oleh pejabat lainnya, termasuk menteri Jokowi menjelang 2019 nanti.

Tak peduli apakah pernyataan “adanya kerugian negara” dari BPK memang terbukti atau tidak, di telinga dan mata masyarakat sudah terbentuk opini publik tentang korupsi. Ahok korupsi. Inilah yang kemudian saya sebut sebagai operasi politik.

Dalam sejarahnya, operasi politik ini sudah biasa terjadi. Di Malaysia, Anwar Ibrahim harus berkali-kali keluar masuk penjara dengan satu kasus yang sama: sodomi. Setiap menjelang pemilu, kasus ini diangkat dan membuat Anwar dipenjara. Di Indonesia, ada Novel Baswedan yang juga berkali-kali diusut oleh kasus yang sama. Bambang Wijdoyanto diungkit kasus lama yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Antasari lebih tragis lagi, divonis penjara 18 tahun karena tuduhan pembunuhan yang hingga saat ini kita tau sangat misterius.

Beruntung Ahok menjadi Gubernur di era sosial media. Jadi apapun yang ada di media mainstream tidak memonopoli kebenaran. Karena selalu ada penulis bukan wartawan yang akan menuangkan pendapat dan analisanya untuk membantah pemberitaan. Saya sendiri sudah berkali-kali menuliskan judul “pembodohan publik” untuk melawan pemberitaan media mainstream.

Jika ini tahun 2008, saya kira Ahok akan lebih mudah dijebloskan ke penjara atas tuduhan korupsi. Sama seperti Antasari yang dituduh membunuh Nasarudin. Jika Ahok menjadi Gubernur di Malaysia, pun saya rasa akan lebih mudah dipenjarakan, karena media di negara tetangga kita itu sangat dikontrol ketat oleh pemerintah.

Meskipun para pendukung Ahok bisa terus melawan media-media mainstream yang pada sinting dan gila, sampai “rumor” pun bisa jadi berita, tetap pada akhirnya Ahok harus melawan sendiri BPK dan seputar urusan eksekutif serta hukum. Ahok harus melawan negaranya sendiri. Bukankah BPK lembaga negara?

KTP #TemanAhok


Selain melawan BPK, Ahok juga harus head to head dengan KPU. Setelah pengumpulan KTP mencapai 532 ribu, syarat minimal untuk maju independen, kemudian ada perubahan peraturan dari KPU yang menyebutkan bahwa surat dukungan harus disertai materai senilai 6,000 rupiah.

Dalam draf tersebut ada satu ayat tambahan dari aturan sebelumnya, tepatnya pada pasal 14. Di dalam pasal tersebut, ayat 8 berbunyi meterai harus dicantumkan dalam surat pernyataan dukungan yang dihimpun secara perseorangan ataupun juga dibubuhkan dalam surat pernyataan dukungan yang dihimpun secara kolektif per kelurahan. Aturan ini menyangkut dukungan kepada calon-calon independen.

Entah apakah akan menggunakan materai perorangan atau dikumpulkan secara kolektif per kelurahan, ini pasti mengganjal dan menyulitkan tim #TemanAhok. Padahal sejak bulan lalu mereka sudah melakukan pengumpulan ulang KTP untuk Ahok , karena ada aturan yang menyebutkan pengumpulan dukungan dan KTP harus berpasangan, jadi tidak bisa dukungan untuk Ahok sendiri.

Setelah pengumpulan ulang ini, apakah #TemanAhok akan kembali ‘dikerjai’ dengan peraturan materai? Kita lihat nanti. Tapi sekali lagi, Ahok sepertinya harus kembali melawan negaranya sendiri.


Ahok Melawan Tuhan Mayoritas

Gambar tersebut beberapa kali saya lihat, dan beberapa teman juga mengirimkannya via BBM, WA ataupun inbox FB. Ternyata, di luar soal politik dan hukum, Ahok juga harus melawan agama dan Tuhan mayoritas di Indonesia.

Saya bukan mufassir, bukan orang yang sangat paham dengan agama dan kitab suci Alquran, tapi kalau boleh saya ingin berbagi tentang beberapa referensi bacaan.

Dalam setiap ayat Alquran, selalu ada asbabun nuzul, atau alasan mengapa ayat tersebut turun. Pada konteks ayat dalam gambar tadi adalah karena dulu ada sistem kabilah, yakni mencari perlindungan kepada keluarga besar atau yang kemudian disebut bani. Jadi rakyat jelata yang tidak memiliki kekuatan atau posisi tawar harus berlindung atau merapat ke keluarga-keluarga besar. Setiap rakyat jelata tidak bisa ditindas atau diperlakukan semena-mena karena ada pelindungnya.

Secara bahasa, inilah kenapa menggunakan kata “auliyaa” asal kata “wali.” Sifatnya lebih kepada kekeluargaan atau pembimbing. Dalam bahasa Indonesia, kata wali juga hanya digunakan pada wali murid, wali kelas dan wali nikah. Tidak ada yang namanya pimpinan murid dan pimpinan nikah. Tentu bukan sebuah kebetulah kalau surat Annisa secara keseluruhan membahas tentang seputar keluarga dan pernikahan.

Kata pemimpin sendiri dalam bahasa arab adalah “rois,” jadi kalau Presiden dalam bahasa arab adalah “roisu daulah” atau “roisul jumhur,” sementara Gubernur dapat disebut “roiusul wilayah.” Tentu saja tidak bisa kita gunakan waliyu daulah atau waliyul wilayah. Ya kalau tetap mau menggunakannya, silahkan, tapi orang Arab pasti ngekek.

Di luar soal bahasa, sebab turunnya ayat dan konteks bahasan dalam surat Annisa, tentu saja ada perbedaan zaman yang juga sangat mencolok.

Dulu orang berlindung pada keluarga atau bani, tapi sekarang semua rakyat Indonesia dilindungi oleh undang-undang dan hukum. Siapapun anda, dari keluarga apapun, entah pengemis atau gelandangan sekalipun, anda punya hak yang sama di sisi undang-undang.

Sampai di sini jelas ya bahwa kalaupun ummat muslim memilih Ahok bukan berarti lebih takut ke Ahok daripada Tuhan. Jadi gambar yang kita lihat di sosial media itu juga sama ngaco nya dengan BPK. Atau malah jangan-jangan itu BPK yang buat? Muahahha entahlah.

Terlepas dari apapun penjelasan saya soal ini, ternyata Ahok juga harus melawan Tuhan mayoritas rakyat Indonesia, meskipun salah kaprah, walaupun mungkin pemahaman minoritas, tetap saja ada nama “Allah” di sana.

Sebagai penutup, saya mungkin akan sedikit beropini tentang pimpinan, baik itu Bupati, Walikota, Gubernur, hingga Presiden, semuanya harus diisi oleh orang-orang yang paham tentang tata kelola sebuah wilayah atau negara. Tidak bisa kita memilih pimpinan hanya karena bergama islam dan hafal Alquran. Seorang pimpinan juga harus paham administrasi, hukum dan tata kelola negara.

Sebab jika banjir atau tumpukan sampah, yang harus dilakukan oleh pimpijan daerah adalah mengangkat dan membersihkannya. Bukan menyuruh rakyatnya berdoa dan mengharamkan buang sampah.
sumber: seword

0 Response to "Ahok Melawan Tuhan Mayoritas dan Negaranya Sendiri"

Posting Komentar