About

Bukan Ahok yang Rugi Kalau Gak Nyagub



Setelah gagal menjebloskan Ahok ke terali besi KPK lewat kasus RSSW dan Reklamasi Pantai Utara Jakarta, para musuh Ahok mengkreasi strategi dan cara lain. 

Pertama; upaya penambahan ayat 8 pada pasal 14 (sebeumnya hanya 7 ayat) rancangan Peraturan KPU (PKPU) No.9 Tahun 2015, terutama butir (a), yang mengatur penggunaan materai pada calon perorangan. 

Ini berimplikasi besar bagi kerja Teman Ahok, yang setelah mengumpulkan hampir 800-an ribu dukungan KTP harus bekerja ulang dari nol pasca pemilihan Heru sebagai paslon Ahok. Padahal, meski baru sekitar enam minggu sudah berhasil mengumpulkan hampir 700-an ribu KTP. 

Dengan adanya pasal ini, bila diberlakukan, TA harus kembali kerja dari nol untuk menempelkan materai dan tandatangan pendukung orang per orang. 

Disamping, tentu saja implikasi pendanaan yang tidak sedikit. Tidak heran kalau Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsuddin Haris menyebutnya sebagai upaya penjegalan Ahok (Radar Politik). Kedua; muncul wacana DPR akan merevisi UU Pilkada terkait prosentase dukungan perseorangan dinaikkan dari antara 6,5-10% menjadi 10-15%. 

Hingga saat ini, baru Ahok yang memastikan diri maju lewat jalur perseorangan, maka tidak terhindarkan munculnya prasangka bahwa “ayat selundupan” dan revisi prosentase syarat dukungan itu sebagai semacam bom rakitan untuk menghabisi sama sekali peluang Ahok maju ke Pilkada 2017. 


Perkembangan mutakhir, yang menurut saya kasus RSSW dan Reklamasi Jakarta hanya dijadikan pemicu, lalu semacam momentum beruntun yang terkelola secara sistemik sehingga tidak akan terprediksi ujung penyelesaiannya. Ia memiliki struktur parmenen yang tersembunyi di dasar sistem, sehingga setiap saat akan muncul dengan memanfaatkan berbagai momentum sebagai pemicu. 


Gejala di permukaan ini menegaskan bahwa para musuh Ahok telah berkolaborasi dan bekerja keras dengan berbagai cara dan upaya untuk menggagalkan Ahok maju dalam pilkada DKI 2017. Mereka sadari kalau bekerja menjual visi dan program sebagai cara merebut hati masyarakat (calon pemilih), pasti tidak bisa menyaingi Ahok yang sudah sukses membuktikannya lewat kinerja. 


Alih-alih beradu visi lebih gampang mematikan peluang Ahok. Terlepas dari apakah upaya mereka berhasil atau tidak, kekisruhan ini masih akan lama mewarnai perpolitikkan di DKI dan imbasnya ke level nasional. Selama Ahok memimpin DKI, kekisruhan tidak akan terhenti. Diperparah dengan gaya komunikasi Ahok yang keras, spontan dan telanjang akan cenderung memperbanyak musuh daripada merekonsilioasi dan memperbanyak sumberdaya strategis yang dibutuhkan untuk membangun. 


Karenanya, cukup potensil tercipta suasana tidak kondusif bagi keberlangsungan pembangunan. Kesimpulan ini memperkuat tesis saya pada tulisan terakhir saya tentang Ahok(Baca disini). Tulisan terakhir tentang Ahok menyarankan Ahok mundur dari cagub Pilkada DKI 2017, dan mendukung Djarot-Heru. Tesis utama dari tulisan itu terkait erat dengan faktor “pengembangan kapasitas kepemimpinan dan solusi menyeluruh bagi berbagai kekisruhan.” 

Intinya, dengan Ahok mundur dan Djarot-Heru maju ada sejumlah manfaat: 

1. “Rekonsiliasi” Ahok-PDIP berjalan, sekaligus juga rekonsiliasi dengan berbagai elemen pembangunan dan mitra strategis seperti DPRD, BPK, KPK, DPR-RI, yang selama ini dirasakan “dilukai” oleh Ahok. Rekonsiliasi tidak dimaksudkan terciptanya kompromi terhadap berbagai masalah yang menjadi sumber konflik. Melainkan akan terjadi perbedaan pendekatan dalam penjabarannya. Saya termasuk orang yang percaya, bahwa “kebenaran bila disampaikan dengan cara yang bijak akan lebih mudah diterima.” 

 2. Kontinuitas pembangunan DKI berjalan mulus karena Djarot yang selain sudah teruji berprestasi selama menjadi walikota dua periode di Blitar, juga selama ini telah mendampingi Ahok sebagai Wagub. Heru pun telah terbukti sukses menjadi walikota Jakarta Utara, dan selama ini dipercaya Ahok, bahkan telah dipilih menjadi calon wagubnya. 

3. Pengembangan kepemimpinan. Harus diakui bahwa kita sedang mengalami krisis kepemimpinan. Para pemimpin yang berintegritas dan berkinerja baik di negeri ini masih bisa dihitung dengan jari (paling melewati jari tangan ya ditambah jari kaki). 

Ahok, dengan kapasitas dan kinerja yang sudah teruji, bisa diberikan posisi yang lebih tinggi. Begitupun, Djarot dan Heru, dengan demikian berkesempatan mengembangkan kepemimpinannya di level yang lebih tinggi, sebagai pijakan antara untuk menaiki tangga kepemimpinan nasional. Dengan alasan-alasan di atas, menurut saya Ahok tidak rugi kalau tidak nyagub. Bahkan, lebih banyak pihak yang untung, termasuk warga DKI, dan secara nasional juga untung. 


Saya sebut itu sebagai sebuah “solusi triple win” (triple win solution) yaitu Ahok menang, para “lawan-lawannya” menang, juga warga DKI dan Indonesia menang. (Btw, saya pikir mungkin juga akan membuat para Ahokers dan haters berdamai, alias sama-sama menang heheeh @berharap.com). Dari tulisan saya itu, dan juga saya baca dari berbagai diskusi di lapak-lapak K-ers lain, baik yang pro maupun kontra, ada sejumlah respons yang mengkhawatirkan (tentu saja dari kubu Ahokers) kalau Ahok mundur justru rakyat DKI yang rugi.


Nampaknya, premis dibalik kesimpulan ini adalah: 

1. Ahok telah sukses menciptakan kemajuan di DKI, yang dirasakan langsung oleh masyarakat, terlepas dari adanya kelompok masyarakat lain yang kecewa dan menjadi korban. Faktor-faktor kemajuan itu antara lain menaikkan gaji PNS, menetapkan gaji UMR yang tinggi di DKI, mempekerjakan pemulung, menaikan gaji penjaga kuburan, menghajikan/meng-umrahkan penjaga masjid DKI, dsb. Bila Ahok mundur, apakah dijamin “struktur gaji” ini akan terus berlaku? 


 2. Ahok juga menciptakan perubahan lain yang secara visual mudah dibuktikan (observable), seperti normalisasi sungai/waduk (antara lain Pluit, Kampung Pulo, Kali Angke, kali Sentiong, Ciliwung, kali Paken, dll), Pembangunan MRT (yang sudah dan sedang berjalan), taman kota waduk Pluit (Lihat disini), Taman Ria Rio (Lihat disini), Taman Kota lain seperti Semanggi, Menteng, Taman Guntur, Kawasan Bundaran HI, Taman Terpadu RPTRA, termasuk menyulap Kalijodo menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ditargetkan selesai dalam tahun 2016, membangun Masjid pemda DKI, sistem transportasi massal, membangun rusun bagi masyarakat dengan menggunakan CSR Perusahaan (tidak membebani APBD), transparansi birokrasi, penggajian berbasis kinerja, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan (antar lain ditandai peningkatan status 40-an Puskesmas kecamatan menjadi Rumah Sakit), dst. Apakah capaian ini dapat dilanjutkan secara kontinyu oleh penggantinya? jakarta.panduanwisata.id jakarta.panduanwisata.id jakarta.panduanwisata.id 


3. Sejumlah proyek besar yang dalam proses persiapan, yang bersifat futuristik akan benar-benar terbayangkan mengubah wajah kota Jakarta dalam beberapa tahun mendatang, menjadi setingkat dengan kota-kota besar dunia lainnya. Proyek seperti Reklamasi Pantai Jakarta Utara, MRT, integrasi transportasi, dsj. Sebuah visi besar yang nampaknya lebih terjamin akan terwujud dibawah kawalan pemimpin sekeras, setegas dan se-disiplin Ahok. Siapa yang menjamin proyek-proyek ini dapat terealisasi, kalau bukan Ahok yang Gubernur? 


 4. Ahok menjadi simbol perlawanan terhadap berbagai praktek jahat seperti mark up proyek, korupsi, pemalakan, sikap malas PNS, dan sejenisnya. Bukankah Ahok dikenal seantero jagat nasional karena perlawanannya dengan gaya cowboy jagoan yang spontan menghabisi lawan tanpa kompromi? Ahok dirasakan mewakili idealisme publik melakukan pembersihan terhadap praktek-praktek kotor di DKI, bahkan lebih luas di negeri ini. 

 Kekhawatiran itu memiliki alasan rasional yang bisa dipahami. Namun, mengabaikan pertimbangan-pertimbangan faktor lain, seperti kemampuan kepemimpinan Djarot-Heru, roadmap pembangunan DKI yang telah terumuskan, pengawasan masyarakat sipil yang makin ketat (termasuk tekanan K-ers yang juga terkenal kritis dan “galak”), dukungan pemerintah Pusat lewat Presiden dan para menteri-nya, bahkan dalam kasus Sumber Waras, DPR-RI juga terlihat begitu “berbaik hati” dan ringan kaki turun gunung. Ini bukti DKI bukan hanya milik masyarakat DKI melainkan menjadi milik seluruh Indonesia. 


Mungkin, kebanyakan warga K-ers, termasuk saya, yang rajin “menjajakan produk Ahok” di lapak dan menuai banyak pengunjung justru bukan berpenduduk DKI. Lucunya, saling ngotot sampai berantam, sementara warga DKI yang berkepentingan langsung mungkin diam menonton sambil geleng-geleng kepala. Gejala ini menunjukkan fakta lain bahwa pengawasan juga datang dari luar DKI. 


Dengan terbangunnya “infrastruktur pengawasan” dan “struktur politik pembangunan” seperti di atas, pemimpin pengganti Ahok kelak tidak akan mudah melakukan perubahan-perubahan tatanan yang dinilai publik sebagai kemunduran. Laksana menyetir mobil pembangunan, Ahok sudah menginjak pedal gas hingga kecepatan optimum. 


Tentu akan segera terasakan perubahan bila driver pengganti menurunkan secara drastis kecepatannya. Yang pasti berubah tentu gaya menyetir, mungkin malahan lebih smooth, tetapi kecepatan dan jalur yang dilalui, serta arah dan tujuan relatif tetap. 


Tetapi, kondisi ideal ini tidak boleh dilepaskan dari asumsi penopangnya, yaitu Djarot-Heru sebagai driver pengganti itu. Berbagai pertimbangan di atas menegaskan kesimpulan saya, bahwa Ahok tidak rugi kalau tidak nyagub. Masyarakat DKI juga tidak rugi. Indonesia tidak rugi. Ahokers dan haters juga. Semua senang, semua menang, pembangunan jalan, Indonesia damai sentosa, dan terutama bertambah maju. Semoga!

sumber : kompasiana

0 Response to "Bukan Ahok yang Rugi Kalau Gak Nyagub "

Posting Komentar