About



Negeri KAYANG [khayalan dari kayangan] 


Satu cerita dari sebuah negeri di atas awan, yang konon memiliki kekayaan alam yang melimpah, tapi rakyatnya masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. 

Negeri itu dipimpin seorang raja yang sakti mandraguna, tapi menteri-menterinya, yang berasal dari multi partai, hampir semuanya serakah. Korupsi seakan sebuah hal yang biasa. 

Alhasil, hampir tidak ada program yang menyentuh rakyat miskin. Ini menjadikan ketimpangan antara yang kaya dan miskin semakin lebar. 

Baginda Raja Pranolo Sumo gelo, dan Maha Patih Branoto Suwur Getun, berusaha memberantas korupsi di tubuh kabinetnya. 

Tapi karena tekanan politik dari ketua partai, menyebabkan Baginda Pranoto kesulitan. Agar bisa mengetahui keandaan rakyatnya, terutama yang miskin, Baginda Pranoto mengundang Tarjo dan Surti dari kalangan rakyat miskin serta Adi dan Tini dari kalangan pengusaha. 

Seminggu sekali mereka datang ke istana guna memberikan informasi secara langsung apa yang terjadi di masyarakat. Seperti saat ini, Ibu Kota kerajaan dikepung banjir. Terutama wilayah-wilayah yang berdekatan dengan sungai. 


Bahkan banjir tahun ini lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. 

"Baginda, banjir semakin parah di Ibu Kota. Kenapa penanganannya lambat?" tanya Tarjo saat hadir menghadap Raja Pranolo. 

"Bukannya lambat, tapi rakyatnya juga tidak mendukung program dari pemerintah untuk menanggulangi masalah banjir ini," jawab Baginda.

"Lantas, apakah harus dibiarkan, Baginda?" tanya Surti. 

"Pemerintah sudah menerjunkan bantuan, baik bantuan makanan maupun bantuan tenaga untuk menolong rakyat yang terjebak di rumahnya. 

Tapi bila permasalahannya tidak bisa dituntaskan, setiap tahun, saat musim hujan, banjir akan selalu hadir di Ibu Kota ini," jawab Baginda dengan sedikit santai. 


"Ini karena rakyat seperti Anda, Pak Tarjo. Sulit diatur, berbuat seenaknya!" sela Adi. 


"Eh, Anda jangan bicara sembarangan, Pak Adi! Kami ini yang mengalami kebanjiran, kok Anda bicara seperti itu?" jawab Tarjo sedikit tersinggung. 


"Kalo rakyat yang tinggal di sepanjang sungai taat dengan program pemerintah, tentu banjir bisa diatasi. Tapi sekarang ini, rakyat direlokasi ke tempat lain pada nggak mau. Digusur pada protes. Padahal, mereka itu pendatang yang menempati tanah negara tanpa ijin. Kalo banjir gini mereka pada teriak-teriak minta bantuan dan menyalahkan pemerintah," jawab Adi dengan senyum sinis di bibirnya. 


"Kami bertempat di situ karena keadaan, Pak Adi. Kalo kami mampu, kami nggak mau bertempat tinggal di situ," jelas Surti menyambung pembicaraan. 


"Nah, ini yang menjadi kendala pemerintah. Rakyat yang tinggal di sepanjang bibir sungai yang membuat banjir, walau masih ada faktor-faktor lainnya. Pemerintah jadi kebingungan, digusur paksa, dikatakan tidak berperikemanusiaan, disuruh pindah dengan suka rela, mereka tidak menggubris. Terus kalau banjir begini semua pada menyalahkan pemerintah. Nah, pemerintah harus bagaimana ini?" ujar Baginda menyela perdebatan. 


"Bila tidak bisa diatur, buang ke laut saja, Baginda," ujar Adi. "Eh, emang kami sampah di buang ke laut? Jangan mentang-mentang Anda kaya, ya!" seru Tarjo emosi. 

"Mau apa?" tantang Adi. 


"Sudah-sudah... Tarjo, tolong sosialisasikan pada mereka yang tinggal di pinggir sungai agar mereka mau dipindahkan. Kalo mereka bersikeras, banjir tidak akan hilang," Baginda beralih memandang Adi, "Dan kamu, Adi, sediakan dana dan prasarana agar perbaikan sungai dan pembuatan waduk bisa segara terwujud." 


"Kami siap, Baginda, tapi rakyat seperti Pak Tarjo ini yang keras kepala. Kalo mereka masih belum mau pindah, gusur saja, kalau nanti ada yang protes dengan alasan kemanusiaan, suruh yang protes turun langsung biar tahu keras kepalanya rakyat yang tinggal di sepanjang bibir sungai," ujar Adi. 


"Dari tadi kata-kata Pak Adi ini memojokan kami. Memang Pak Adi bisa apa kalau tidak ada orang-orang miskin seperti kami?" Jawab Surti. 


"Apa pentingnya orang miskin?" Tini ikut bicara. Sedari tadi hanya diam memerhatikan. 


"Jangan berlagu kamu, Tin!" Seru Surti. 


"Sudaaah... kalian diundang ke sini bukan disuruh bertengkar. Tapi membatu memberi masukan biar apa yang dilakukan pemerintah bisa langsung terasa manfaatnya pada kalian!" Baginda memegangangi kepalanya, "Bila begini, kepala saya jadi pusing mikir kalian." 

"Mau tidak mau, rakyat harus tunduk pada peraturan pemerintah agar hidup rakyat juga bisa selaras dan berdampingan. Maaf, Pak Tarjo, sebaiknya kita bersatu mencari pemecahan masalah ini. Pak Tarjo dan Bu Tini menyadarkan masyarskat di sepanjang bibir sungai, sedang saya akan menggalang dana dari pengusaha untuk membangun rumah susun buat mereka. Bila ini bisa terlaksana, banjir bisa lebih dikendalikan." kata Adi. 

"Nah, begitu dong, Pak Adi. Banjir adalah masalah kita semua. Tidak semua masyarakat di pinggir bibir sungai keras kepala. Tapi mereka diprovokasi agar mereka tidak bersedia pindah. Yang memprovokasi mungkin dari pengusaha yang tidak dapat proyek dalam program ini," jawab Tarjo. 

"Sudah... mari saling bahu-membahu agar Ibu Kota negeri ini bisa bebas dari banjir. Mulai besok, laksanakan apa yang bisa kalian lakukan," kata Baginda Raja sambil tersenyum karena kesepakatan telah di capai. Bila semua bersatu dalam satu tindakan nyata, tidak hanya bicara dan berteori saja, pasti semua masalah bisa teratasi.



Sumber : kompas

0 Response to "Banjir di Ibu Kota"

Posting Komentar