About

Pembodohan Publik Reklamasi, Sanusi, Ahok, DPRD dan Korupsi



Setelah Sanusi terjerat operasi tangkap tangan KPK, saya benar-benar berhenti untuk mendukung Ahok. Karena kalau Sanusi bermain di soal zonasi, logika sederhananya pasti ada celah untuk membuat Ahok mau tanda tangan izin reklamasi. Apalagi memang ada tumpang tindih undang-undang yang sekilas membuat Ahok terlihat sangat bersalah karena mengeluarkan ijin.

Persoalan reklamasi menjadi sebuah kajian yang sangat rumit untuk dipelajari. Selama beberapa hari terakhir saya memilih belajar dan tidak ikut dalam pertarungan opini publik karena bisa membuat pembaca kapok membaca tulisan saya. Tapi setelah berhari-hari berdiskusi dengan orang-orang yang paham di bidang hukum dan politik, akhirnya saya memberanikan menulis ini.

Yang menjadi persoalan reklamasi adalah ijin secara hukum, dampak lingkungan dan kesenjangan. Catat, hanya 3 itu saja. Mari fokus dulu pada soal reklamasi, kalau soal Sunny, Sanusi dan sebagainya, nanti kita bahas di lain kesempatan.

Hukum

Soal ijin reklamasi ini sebenarnya kembali pada tahun 1995, sudah lama sekali, saya bahkan belum masuk SD. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1995 soal Reklamasi Pantai Utara Jakarta merupakan turunan dari Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995. Artinya, sejak dulu pemerintah pusat, Pemda dan DPRD sudah sepakat soal reklamasi. Oke dipahami ya?

Yang sekarang menjadi masalah adalah soal Sanusi dan permainan DPRD terkait uang kontribusi NJOP dari 15% ke 5%. Pihak pengembang berusaha menyuap agar bisa 5% saja. Jadi misal DPRD berhasil memutuskan 5%, maka pihak swasta tak akan ragu membayar DPRD 5% namun sudah hemat 5%. Tentu saja ini sangat berkaitan dengan kasus suap 2 milyar Sanusi dengan Agung Podomoro Land yang dalam hal ini sebagai pihak swasta atau pengembang.

Inilah kenapa Ahok marah-marah dan mencoret usulan DPRD dengan kata “GILA! Kalau seperti ini bisa pidana korupsi!”

Ya itulah Ahok, setelah coretan “nenek lu” kini “gila!” Hahaha. Mungkin kalau mencekek tidak dilarang dalam undang-undang, Ahok sudah mencekek semua anggota DPRD Jakarta yang mengusulkan penurunan biaya kontribusi. Kalau kemudian Ahok dituduh terlibat oleh Sanusi, ini agak lucu. Logika sederhananya, Ahok berusaha tetap 15% sementara DPRD coba bujuk agar 5%. Kalau Ahok mau, dia bisa saja teken 5% dan tak perlu ada ribut-ribut seperti sekarang.

Masih seputar hukum, pada tahun 2003 memang sempat keluar keputusan Menteri Lingkungan Hidup bahwa reklamasi melanggar dan ijin reklamasi berdasarkan Kepres1995 dicabut. Namun kemudian perusahaan atau pengembang protes dan menggugat ke pengadilan. Sampai di MA, perusahaan kalah. Namun setelah PK, perusahaan menang dan akhirnya Keputusan Menteri LH dicabut.

Tahun 2012, Foke keluarkan ijin, namanya ijin prinsip. Proses pelaksanaan reklamasi sebelum membuat bangunan adalah sebagai berikut:

1. Ijin prinsip
2. Ijin pelaksanaan
3. Amdal
4. Ijin pembangunan

Prosesnya seperti itu. Menurut Bung Edwin, penasehat hukum @Pakar_Mantan dan FNI, ada aturan UU Administrasi Negara yang menyatakan jika Tata Usaha Negara, dalam hal ini Ahok, tidak mengeluarkan keputusan yang menjadi kewenangannya, maka akan otomatis dianggap setuju. Misal ijin akan diberikan 14 hari setelah permohonan diterima lengkap. Jadi kalau di hari ke 15 tidak belum ada keputusan diterima atau menolak, maka UU akan menganggap diterima tanpa syarat. Kalau Ahok menolak tanpa alasan yang kuat secara hukum, maka pihak perusahaan akan menuntut ke PTUN.

Menjadi Ahok benar-benar serba salah. Secara politik Ahok sangat rentan dijatuhkan. Katakanlah Ahok tidak beri ijin, maka otomatis Ahok akan terjerat kasus hukum yang 99.9% pasti membuatnya bersalah dan lengser dari Gubernur DKI.

Untuk itulah Ahok mau mengeluarkan ijin namun mempertahankan biaya kontribusi NJOP 15% meski pihak pengembang dan swasta membujuk 5%.

Selain Tuhan, satu-satunya manusia yang bisa membatalkan reklamasi Jakarta Kepres 1995 adalah Presiden Jokowi. Jika dibatalkan, konsekuensinya sangat tinggi, karena Presiden Jokowi harus berhadapan dengan 17 perusahaan yang sudah ditunjuk sebagai pengembang sejak 1995. Ingat ya, 17 perusahaan sekaligus. Dari 17 perusahaan ini bisa dipastikan 100% memiliki hubungan baik dengan semua partai politik yang ada di Indonesia, catat! Semuanya.

Tapi Jokowi beruntung sekarang sudah menjadi Presiden. Andai masih Gubernur, mungkin dia yang saat ini harus behadapan dengan Sanusi dan antek-anteknya yang ingin menjatuhkan atau melengserkan. Ya ini sekarang jadi urusan Ahok yang sekilas sudah nampak kelimpungan melawan opini publik dan serangan partai politik. Tapi para pendukung Ahok harus bersyukur, karena pilihan Ahok memberi ijin reklamasi adalah keputusan yang sangat tepat. Jika sok idealis menolak ijin, hari ini Ahok pasti sudah mondar-mandir ke pengadilan.

Oke sampai di sini jelas ya soal hukum? Selanjutnya saya akan bahas kesenjangan sosial. Banyak yang sinis bertanya siapa yang akan beli bangunan mewah di pulau reklamasi? Rakyat yang mana? Jangan mimpi! Setidaknya itu tanya Tere Liye sang penulis cerita palsu (baca: fiksi).

Kesenjangan

Dalam tulisannya Tere Liye meledek kita apakah pernah ke Marina Bay Singapore? Siapapun yang berbusa membela reklamasi, nantinya mungkin tak akan mampu bayar walau sekedar menyebrang ke lautnya. Apalagi mau menginap di hotelnya yang semalam bisa 5-10 juta. Dan masih panjang ocehan Tere Liye soal pesimisme dan memprediksi bahwa anak-anak kita tak akan mampu ke pulau reklamasi, karena mungkin Tere mengira kita akan miskin semua. Haha.

Tapi begini, saya pernah beberapa kali ke Singapore dan mondar-mandir di depan Marina Bay. Menyebrang dari Malaysia hanya cukup bayar tiket kereta api senilai 250 ribu rupiah PP. Jadi punya uang 1 juta rupiah saja sudah bisa sok-soan foto di Marina Bay Singapore, apalagi bawa bekal sendiri mie goreng, telur, tahu, bawa tikar makan di pantai Sentosa. Wah ini kerjaan teman saya si Ina, jangan ditiru. Whahhahaa. Kalau dari Indonesia? bisa, cari tiket promo, 2 juta sudah cukup PP asal punya teman di Singapore yang bisa buat numpang tidur.

Di Marina Bay, ada kapal raksasa yang disangga 3 tiang berupa bangunan. Di atasnya ada kolam renang di kawasan Skypark. Kalau kita menginap di hotel, otomatis bisa menikmati sensai berenang di atas langit. Tapi kalau tidak mampu seperti si Ina? Eh maksudnya seperti saya? Ya tidak bisa berenang. Tapi kalau cuma mau lihat-lihat taman, bisa naik ke atas. Saat itu memang ada bayarannya, 25 dollar Singapore. Ya lumayan bisa foto-foto. 25 dollar not a big deal right? Kita yang gajinya rata-rata UMR kalau ke kawasan wisata juga sudah biasa menghabiskan uang segitu.

Intinya Tere Liye terlalu mendramatisir nanti kita tidak bisa main ke pulau reklamasi. Kalau soal hotel 5-10 juta permalam, itu harga normal, sekarang pun di beberapa hotel Jakarta, harganya segitu, jadi tak perlu ke Singapore. Jadi please jangan lebay apalagi menakutkan masa depan kita hanya akan jadi tukang sapu. Sudahlah, sekarang pun sudah ada tukang sapu, dan tidak ada yang salah dengan tukang sapu, halal. Memang harus ada yang jadi tukang sapu, kita di dunia ini kan bagi-bagi peran. Anda menjadi pembaca seword.com sementara saya sebagai founder dan penulisnya. Jadi biasa saja. Anda tak perlu merasa hina dan saya tak perlu merasa mulia, kita hanya berbagi peran.

Soal Tere Liye kembali meledek kita tidak mampu beli rumah 4 milyar di pulau reklamasi, ya biarkan saja dia meledek. Tapi begini, menurut teman saya, harga segitu sudah biasa. Tak perlu menunggu reklamasi selesai, sekarang pun harga rumah di Indonesia ada banyak yang sudah milyaran.

“Tahun 2006 bapak beli rumah 15 M, jadi kalau nanti di pulau reklamasi harganya cuma 4 M, merem mas asal aman dan legal,” jawab teman saya yang kemarin namanya masuk dalam daftar offshore leaks ditenggarai Panama Papers. Wkwkkekeke.

Jadi kesimpulannya, biasa saja lah. Yang belum kaya mari bekerja. Jangan pesimis. Ayo sama-sama, yang nulis juga belum mampu beli kalo segitu. Muahahha.

Nah semoga soal kesenjangan sosial ini sudah dijawab ya. Dengan atau tanpa reklamasi, kesenjangan sosial pasti ada. Harus ada miskin dan kaya.

Dampak Lingkungan

Kemudian yang terakhir adalah dampak lingkungan. Menteri Susi memang sempat mengatakan “reklamasi di mana-mana boleh Pak. Ga salah kalau Jakarta mau buat pulau yang bagus seperti Dubai, dan di saat sekarang memang sudah saatnya kita memiliki yang seperti itu. Tapi, coba dingin kepala Pak, kalau ada yang belum selesai mari kita selesaikan. Artinya ga boleh jalan terus, tentu harus ada jeda pembangunan,” jelasnya.

Selama beberapa hari ini saya coba konfirmasi maksud menteri idola saya ini. Ternyata, Bu Susi protes keras karena sekarang sudah ada yang membangun. Padahal tahapannya masih di amdal dan zonasi karena baru dikeluarkan ijin pelaksanaan, bukan ijin pembangunan. Hal ini memang jarang dipahami karena Bu Susi mengeluarkan pernyataan di hadapan para pakar dan pihak terkait, bukan rakyat awam seperti kita. Namun ketika sudah sampai ke media, memang akan membingungkan yang seolah-olah bertentangan dengan Ahok.

Inilah yang membuat dinas tata kota Jakarta menyita lebih dari 1,000 bangunan yang sudah berdiri di pulau D reklamasi, di bawah pengembang PT Kapuk Naga Indah. Bu Susi sudah benar memprotes karena amdal belum selesai, sungai belum dikeruk, tapi sudah ada yang membangun. Sementara yang dikejar wartawan adalah soal ijin reklamasi menanggapi staff KKP. Ya memang tidak akan nyambung. Muahahahaha saya pun jadi mumet.

Menurut penasehat lingkungan @Pakar_Mantan dan FNI, Bung Pri -dulu menjadi bagian tim pemindahan ibu kota, namun dibatalkan karena ada nasehat tidak dilakukan di era SBY karena akan banyak korupsi- satu-satunya cara agar Jakarta tidak tenggelam adalah reklamasi. Reklamasi di sini membuat bendungan raksasa, yang kemudian kita kenal dengan GSW (Giant Sea Wall).

Awalnya memang reklamasi dimaksudkan untuk meniggikan pantai utara Jakarta, karena masalah global warming dan turunnya permukaan tanah. Dan benar saja sekarang ROB sudah sampai Mangga Dua square.

Nah yang sedang dibangun oleh Ahok sekarang adalah GSW ini, yang nantinya akan menjadi satu kesatuan dengan reklamasi dan garuda raksasa di pantai utara Jakarta. Ijinnya sudah ada. Jadi sampai di sini jelas ya perbedaan reklamasi GWS dan reklamasi hunian?

“Jadi orang suka mencampuradukkan Giant Sea Wall dengan 17 pulau, bukan. 17 pulau itu reklamasi saja, sesuai dengan Keppres 1995. Lalu yang wall-nya itu yang pertama (dibangun), yang existing sekarang. Makanya, kita namakan National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) A, nanti ada NCICD B dan C. Pulau Garuda itu masuk ke NCICD C,” kata Ahok.

Bagaimanapun reklamasi bendungan (wall) harus dibangun untuk menyelematkan Jakarta agar tidak tenggelam. Semetara pulau buatan hunian juga harus tetap jalan karena sudah diputuskan sejak 1995. 17 perusahaan sudah keluarkan dana besar untuk megaproyek ini. Tidak bisa dibatalkan karena akan berdampak secara politik dan bisnis, lagipula apa kita tidak dzolim kalau tiba-tiba membatalkan? Padahal dulu sudah sepakat.

Jadi yang bisa dilakukan saat ini adalah bagaimana proyek ini adil bagi semuanya. Pemprov mendapat uang kontribusi yang adil, nantinya uang tersebut dialokasikan untuk rakyat DKI. Pengembang juga diawasi agar tidak main mata dengan DPRD, tapi juga jangan kita tikam dengan membatalkan reklamasi.

Bahwa reklamasi ini berdampak pada lingkungan, nanti harus ada yang dikeruk dan dirusak, itu sudah sebuah keniscayaan. Tak perlu bicara reklamasi, berapa banyak dari kalian yang tersenyum menikmati jalan mulus aspal? Bahagia? Tapi di tempat lain jelas harus ada yang dikeruk untuk bahan aspal. Apa kemudian setelah ini kita menolak jalan aspal karena merusak lingkungan? Hahaha yang benar saja.

Jadi di sini saya sebagai @Pakar_Mantan menghimbau untuk semua pendukung Jokowi dan Ahok agar tidak terpecah belah. Sudah cukup kita diprovokasi dan dibodoh-bodohi oleh pernyataan pejabat di media. Cukup! Mari rapatkan barisan, sebarkan penjelasan ini agar tidak terprovokasi oleh setan-setan politik.

Jelas ada yang ingin menjatuhkan Ahok, jelas ada yang ingin mengganggu Jokowi. Nah soal target operasi dan konspirasi tingkat tinggi ini mungkin akan saya bahas lain waktu, tentu saja menunggu informasi dan konfirmasi dari A1.

Catatan penting: semua tulisan seword.com bersifat ekslusif dan kami menentang copy-paste. Jadi mohon dipahami agar tidak dicopas untuk alasan apapun. Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan dishare langsung melalu tombol sosial media yang ada di bawah ini.

FNI adalah Front Nasionalis Indonesia, semua anggota kami menyantumkan #FNI di twitter. Kelompok independen yang sudah berbadan hukum, berusaha menjelaskan setiap isu yang berkembang di media.
(seword)

Begitulah kura-kura.

Jangan Abaikan Yang Ini :

0 Response to "Pembodohan Publik Reklamasi, Sanusi, Ahok, DPRD dan Korupsi"

Posting Komentar